Facebook

Minggu, 18 September 2011

”Rumah Besar” yang ”Hidup”

Bumi sebagai sebuah entitas merupakan kumpulan gerak penghancuran dan pelahiran. Bumi tak pernah diam. Bumi berputar membawa ”muatan” di permukaannya, terkupas sementara dan juga ”bertumbuh”. Aktivitas Bumi melibatkan energi supermasif yang dihasilkan tanpa henti.

Sepanjang usianya yang sekitar 4,6 miliar tahun, rahasia dinamika Bumi dipahami secara bertahap dalam jangka selama tiga abad. Setelah pengembaraan pemikiran yang panjang, ahli geologi Jerman, Abraham Werner, (1749-1817) mengawali pandangan geologi yang berbasis batuan, mengawalinya dengan konsep lautan purba.


Werner berpendapat bahwa vulkano terjadi akibat pembakaran batubara di bawah permukaan Bumi. Panas melelehkan batuan di sekitarnya dan mendorong terjadinya erupsi (keluarnya material dari dalam Bumi ke permukaan Bumi) lava dari waktu ke waktu (A History of the Sciences, Stephen F Mason, 1962).

Teori ini kemudian diperbarui oleh ilmuwan amatir, berlatar belakang pendidikan dokter, seorang petani yang juga aktif di industri, James Hutton (1726-1797). Dalam bukunya The Theory of the Earth, dia mulai berbicara soal lava cair dalam perut Bumi. Di ujung teorinya, Hutton menyatakan bahwa gaya-gaya (forces) di dalam alam bersifat konstan (Mason, 1962).

Dia mulai memunculkan pemikiran tentang lava yang muncul ke permukaan melalui celah di permukaan Bumi, melipat dan menjadi lapisan sedimen baru. Dia tidak menetapkan kapan berawalnya struktur geologi. Namun, dia meyakini bahwa Bumi sudah uzur dan di dalamnya ada gaya-gaya geologis yang sama yang bekerja terus, menghancurkan batuan, lalu membentuk batuan baru di permukaan Bumi. Tak pernah diam.

Teori yang kemudian mendominasi pemikiran tentang dinamika Bumi muncul pada abad ke-20 yang sampai kini terus dipegang, yaitu Teori Tektonik Lempeng dan Continental Drift yang saling melengkapi.

Ketika Bumi terus berputar, ber-evolusi—yang melahirkan siang dan malam—serta ber-revolusi, yang berlangsung selama ”satu tahun” (365,25 hari), padanya bekerja berbagai gaya. Ketika Bumi tetap utuh dan kita tetap bisa berdiam di atasnya tanpa ”jatuh”, semua gaya yang bekerja menghasilkan resultante nol. Setimbang.

Dari Teori Tektonik Lempeng terdapat dua lempeng dari lapisan ”kulit Bumi” (litosfer) yang saling mendesak, bertumbukan, yaitu antara lempeng samudra dan lempeng benua. Lempeng-lempeng tersebut mengapung di atas bagian mantel Bumi yang disebut astenosfer yang relatif lebih cair dibandingkan dengan litosfer.

Dalam Teori Tektonik Lempeng dan Continental Drift juga muncul fenomena kesetimbangan. Lempeng samudra mengapung saling menjauh karena di tengah Samudra Atlantik dan Pasifik mereka berpisah. ”Karena terjadi rekahan akibat saling meninggalkan itu, erupsi berlangsung tanpa letusan, dan di tengah samudra itu muncul deretan gunung api juga,” tutur Igan Supriatman Sutawidjaja dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Bandung, Jawa Barat.

Mengapa bertumbukan?

Lempeng samudra lalu mengambang menuju ke tepi samudra dan mendesak lempeng benua. Maka, terjadi gesekan yang mengakibatkan terjadi rekahan, dengan magma yang suhunya mencapai 6.000 derajat celsius keluar ke permukaan Bumi dan membentuk gunung api.

”Kalau prosesnya menghasilkan gas yang besar volumenya, terjadi letusan hebat,” kata Igan. Sebagai catatan, teori Undasi yang diperkenalkan Van Bemmelen yang tinggal di Indonesia gagal menggusur teori Tektonik Lempeng.

Proses tersebut berlangsung berkesinambungan, berproses tanpa henti. Menurut Jelle Zeilinga de Boer dan Donald Theodore Sanders dalam Volcanoes in Human History, vulkanisme adalah manifestasi permukaan dari Bumi yang ”hidup”. Bumi yang terus bergerak.

Segala makhluk hidup tinggal di Bumi yang ”hidup” itu. Bumi adalah ”rumah besar”. Di tengah dinamika Bumi, kehidupan makhluk hidup berdenyut. Ketika makhluk hidup terus beradaptasi dengan bencana vulkanik, di sana bisa terjadi evolusi kehidupan. Bumi yang ”hidup” tersebut suatu kali juga mampu memusnahkan satu ”bentuk kehidupan”.

Letusan gunung api mahadahsyat seperti Tambora (1815)—sisihkan supervulkano Toba yang terjadi 74.000 tahun lalu—telah mengubah kehidupan ratusan ribu penduduk di sekitarnya. Nyaris 100.000 orang tewas, ribuan makhluk hidup mati, bahkan mungkin punah. Kultur pun turut berubah. Letusan mahadahsyat bisa mengakibatkan gangguan cuaca, bahkan iklim. Letusan gunung api mampu mengganggu tata air sumber kehidupan.

Kini, saat ilmu modern berkembang pesat, kita semakin memahami berbagai fenomena yang terjadi di sekeliling kita. Meski demikian, belum seluruh fenomena tersebut mampu diprediksi. Salah satunya adalah fenomena gunung api—manifestasi ”rumah besar” yang ”hidup”.

Sumber : Brigita Isworo laksmi.

0 komentar:

Posting Komentar